Perjanjian Utang Piutang Dapat Mengalihkan Hak Atas Jaminan kepada Kreditur?

Pada dasarnya dalam Hukum Perdata di Indonesia dikenal adanya asas larangan pactum commissorium. Asas ini bertujuan untuk melindungi debitur dari penyalahgunaan yang mungkin terjadi dilakukan oleh kreditur. Asas larangan pactum commissorium merupakan asas hukum yang melarang perjanjian yang mengatur debitur secara otomatis menyerahkan hak kepemilikan yang dijaminkan dalam perjanjian kepada kreditur apabila debitur tidak mampu melunasi utangnya.

Pada jaminan gadai yang diatur dalam Pasal 1154 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPer) mengatur bahwa “Apabila si berutang atau si pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka tak diperkenankanlah si berpiutang memiliki barang yang digadaikan. Segala janji yang bertentangan dengan ini adalah batal.”

Dengan demikian, hukum secara tegas melarang adanya klausul dalam perjanjian gadai yang memberikan hak kepemilikan otomatis atas barang jaminan kepada kreditur jika terjadi wanprestasi. Apabila dalam perjanjian diatur jaminan kebendaan akan beralih kepada Kreditur secara otomatis apabila debitur wanprestasi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Prinsip ini berlaku tidak hanya pada jaminan gadai, tetapi juga pada jaminan lain seperti fidusia maupun hipotik. Dengan demikian, klausul dalam perjanjian utang-piutang yang menyatakan bahwa barang jaminan langsung menjadi milik kreditur jika terjadi wanprestasi adalah batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut dengan UU Fidusia), mengatur bahwa setiap janji yang memberi kewenangan kepada pemberi fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Kreditur tidak dapat secara sah menjadi pemilik objek jaminan fidusia hanya karena debitur wanprestasi, meskipun terdapat kesepakatan dalam perjanjian. Klausul yang menyatakan demikian adalah batal demi hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 33 UU Fidusia. Untuk memperoleh pelunasan utangnya, kreditur harus menempuh prosedur eksekusi yang sah sebagaimana diatur dalam UU Fidusia.

Kreditur tidak diperbolehkan untuk secara otomatis menjadi pemilik objek jaminan apabila debitur wanprestasi dan pelunasan utang harus dilakukan melalui mekanisme eksekusi yang sah menurut hukum. Dalam pelaksanaan perjanjian utang dengan jaminan, apabila debitur wanprestasi, kreditur tidak dapat secara sepihak mengambil alih kepemilikan atas barang jaminan. Proses eksekusi harus ditempuh melalui jalur hukum yang berlaku, seperti lelang umum atau permohonan ke pengadilan. Hasil dari eksekusi tersebut digunakan untuk melunasi utang debitur. Apabila terdapat kelebihan dari hasil penjualan jaminan, maka kreditur wajib mengembalikannya kepada debitur. Sedangkan apabila hasilnya tidak mencukupi, debitur tetap bertanggung jawab atas sisa utangnya.Oleh karena itu, kepemilikan objek jaminan tidak dapat beralih secara otomatis kepada kreditur dalam hal debitur wanprestasi.

Perjanjian utang-piutang tidak dapat secara sah mengalihkan kepemilikan jaminan kepada kreditur hanya karena debitur wanprestasi. Hal ini bertentangan dengan asas larangan pactum commissorium dan perjanjian dapat batal demi hukum. Eksekusi atas jaminan utang harus dilakukan melalui mekanisme eksekusi yang sah dan hak serta kewajiban para pihak atas hasil penjualan jaminan diatur berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Referensi

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *