Tarif Trump dan Kritik AS terhadap Praktik Dagang Indonesia dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS), baru-baru ini telah mengguncangkan perekonomian dunia akibat penambahan tarif impor di sejumlah negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Pada 5 April 2025, ia menetapkan tarif 10% kepada hampir seluruh negara mitranya, kecuali Meksiko dan Kanada. Selain itu, ia juga mengumumkan strategi tarif resiprokal (reciprocal tariff) sebagai balasan tarif kepada negara-negara yang dianggap tidak adil terhadap perdagangan AS. Tarif resiprokal yang ditentukan berbeda-beda setiap negara. Indonesia mendapatkan tarif resiprokal sebesar 32%1. Tarif Trump ini menjadi salah satu faktor harga saham pasar modal menurun drastis.
Dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, United States Trade Representative (USTR) merinci berbagai hambatan perdagangan yang menjadi perhatian Amerika Serikat terhadap sejumlah negara mitra, termasuk Indonesia. Berdasarkan dokumen ini, hambatan yang disampaikan Amerika terhadap Indonesia, antara lain:

  1. Tarif dan Pajak
    Indonesia meningkatkan tarif impor yang progresif terhadap Amerika dalam sepuluh tahun terakhir yang diterapkan pada berbagai barang, terutama yang bersaing dengan produk lokal, termasuk produk elektronik, mesin penggilingan, bahan kimia, kosmetik, obat-obatan, anggur dan minuman beralkohol, kawat besi dan paku kawat, dan berbagai produk pertanian. Sebagian besar tarif untuk barang nonpertanian ditetapkan pada 35,5%, bahkan untuk sektor tertentu seperti mobil, besi, baja, dan produk kimia tertentu memiliki tarif yang melebihi 35,5% atau tetap tidak terikat. Bahkan, Indonesia dinilai menetapkan tarif di atas tarif terikat yang ditetapkan World Trade Organization (WTO). Contohnya, WTO menetapkan tarif 0% terhadap subpos dalam kode Sistem Harmonisasi (HS) pos 8517 yang mencakup peralatan switching dan routing namun Indonesia menerapkan bea masuk sebesar 10% untuk produk-produk ini.
  2. Perizinan Lisensi Impor yang Rumit
    Proses perizinan impor yang rumit ditambah tumpang tindihnya regulasi menambah berkelindan akses pasar. Importir memerlukan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diperoleh melalui sistem Online Single Submission (OSS), yang dilaporkan sering mengalami masalah teknis dan kurang terintegrasi. Di sisi lain, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20/2021 dan amandemennya Peraturan Menteri Perdagangan No. 25/2022 yang bertujuan untuk menggabungkan semua peraturan terkait impor dan berfungsi sebagai peraturan untuk pengelolaan kebijakan impor Indonesia juga mengharuskan agar izin impor untuk komoditas tertentu dikeluarkan berdasarkan kebijakan neraca komoditas. Indonesia belum memberikan daftar lengkap produk yang akan dikenakan kebijakan ini di masa mendatang ditambah kurangnya konsultasi pemangku kepentingan Pemerintah Indonesia mengenai kebijakan ini terhadap pihak Amerika, perluasan ke produk baru dengan pemberitahuan singkat, dan implementasi yang tidak konsisten yang telah menyebabkan seringnya terjadi penundaan dalam memperoleh izin impor.
  3. Pembatasan Kuota Impor
    Indonesia mengeluarkan kebijakan keseimbangan komoditas (commodity balance policy) yang diatur dalam Perpres No. 61/2024 yang mengatur kebijakan neraca komoditas dan menjadikan penerbitan lisensi impor tunduk pada penilaian Pemerintah Indonesia atas pasokan dan permintaan domestik. Hasil penilaian ini menjadi dasar bagi pemerintah dalam memutuskan apakah izin impor untuk komoditas tersebut perlu diterbitkan dan berapa volume impor yang diizinkan. Kebijakan ini awalnya diterapkan untuk gula, beras, ikan, daging, dan garam, kemudian di 2025 diperluas ke produk lain termasuk bawang putih, dengan rencana untuk apel, anggur, dan jeruk di tahun 2026. Bagi AS, kebijakan ini bermasalah karena proses penilaiannya dianggap kurang transparan, cakupan komoditasnya terus diperluas (dari awalnya 5 menjadi lebih dari 20, termasuk produk non-pertanian, dan akan terus bertambah) tanpa konsultasi yang memadai dengan pemangku kepentingan, serta sering menyebabkan keterlambatan signifikan dalam penerbitan izin, terutama di awal tahun. Akibatnya, importir menghadapi ketidakpastian dan volume impor yang diizinkan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan pasar riil. Kerumitan ini diperparah oleh peraturan teknis lainnya seperti Permendag yang kerap berubah dan memberlakukan syarat-syarat tambahan yang memberatkan, serta prosedur lisensi yang masih kompleks untuk produk pertanian dan hewan.
    Selain kebijakan keseimbangan komoditas di atas, Indonesia juga menerapkan kontrol ketat atas impor komoditas ini melalui pembatasan impor kuantitatif tahunan berdasarkan prakiraan produksi dan konsumsi dalam negeri. Pembatasan impor ini dirancang untuk melindungi industri lokal tetapi memiliki implikasi signifikan terhadap akses pasar bagi eksportir AS dan eksportir asing lainnya.
  4. Kepabeanan
    Proses kepabeanan yang tidak transparan, seperti penetapan nilai bea masuk yang seringkali menggunakan referensi internal alih-alih dihitung berdasarkan nilai transaksi aktual dan proses banding penetapan nilai bea masuk yang lama dan tidak transparan, menambah biaya dan ketidakpastian. Selain itu, kewajiban verifikasi pra-pengapalan untuk banyak produk dan aturan administrasi yang rumit untuk barang tak berwujud, seperti lisensi dan royalti, menambah beban administrasi. Potensi korupsi juga dikhawatirkan timbul didorong oleh sistem insentif berdasarkan denda atau nilai sitaan.
  5. Hambatan Teknis Perdagangan (TBT) dan Sanitari/Fitosanitari (SPS)
    Hambatan teknis dan sanitari/fitosanitari menjadi persoalan serius. Indonesia mewajibkan standar dan pengujian lokal untuk produk seperti mainan dan barang konsumsi lainnya, dengan frekuensi pengujian yang dianggap diskriminatif bagi produk impor dan masalah dalam pengakuan laboratorium uji asing. Namun, yang paling menonjol adalah kewajiban sertifikasi halal yang cakupannya sangat luas, meliputi hampir semua produk konsumen (makanan, minuman, obat, kosmetik, alat kesehatan) dan jasa terkait. AS menyayangkan atas kurangnya konsultasi dalam penyusunan aturan teknisnya, proses akreditasi lembaga halal asing yang dianggap sangat memberatkan, mahal, dan lambat, serta sistem yang dinilai tidak selaras dengan praktik dan standar halal internasional yang umum diterima. Dari sisi SPS, proses registrasi fasilitas ekspor produk hewani AS oleh otoritas Indonesia dianggap paling memberatkan di dunia, sementara tindakan Indonesia menghapus beberapa produk pertanian AS (seperti apel) dari daftar produk yang diakui sistem keamanannya dinilai tidak berdasar secara ilmiah dan menghambat ekspor.
  6. Akses Pasar di Sektor-Sektor Kunci
    Salah satu akses industri sektor yang dikeluhkan AS adalah industri farmasi dan kesehatan. AS mengeluhkan kurangnya transparansi dalam proses pemilihan produk farmasi untuk masuk ke katalog elektronik pemerintah (e-Katalog), kewajiban untuk memproduksi secara lokal atau bermitra dengan perusahaan Indonesia untuk mendapatkan izin edar dan impor, serta larangan total bagi asing di pasar obat tradisional. Kewajiban sertifikasi halal juga menjadi beban tambahan signifikan di sektor ini. Sektor jasa lainnya, seperti audio visual, pengiriman ekspres, keuangan (dengan isu batasan kepemilikan dan mandat Gerbang Pembayaran Nasional/GPN), ritel, hingga telekomunikasi (dengan kesulitan impor perangkat), juga dibatasi oleh berbagai aturan kepemilikan asing, persyaratan kemitraan, dan hambatan operasional lainnya. Di ranah digital, potensi pengenaan bea masuk pada produk digital dan kewajiban pendaftaran serta moderasi konten yang ketat bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) menjadi perhatian.
  7. Perlindungan Kekayaan Intelektua (IP) Perlindungan Kekayaan Intelektual (KI) masih menjadi masalah kronis di Indonesia. Pasalnya, Indonesia masih menjadi bagian dari Priority Watch List (PWL) the 2024 Special 301 Report, yang menggambarkan bahwa Indonesia masih krisis perlindungan kekayaan intelektual. Meskipun baru-baru ini Indonesia banyak melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan perlindungan KI, termasuk memperluas gugus tugas penegakan hukum HKI dan meningkatkan upaya untuk mengatasi pembajakan daring, namun pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang yang meluas di pasar masih jadi isu yang mengkhawatirkan. Mall Mangga Dua Jakarta terus terdaftar dalam Tinjauan Pasar Terkenal untuk Pemalsuan dan Pembajakan Tahun 2024 (Notorious Markets List), bersama dengan beberapa pasar daring Indonesia. AS mendesak Indonesia untuk lebih memaksimalkan peran gugus tugas HKI guna meningkatkan koordinasi antar lembaga. Selain itu, AS terus menekan Indonesia untuk menyediakan perlindungan yang efektif bagi data uji rahasia produk farmasi dan kimia pertanian agar tidak disalahgunakan secara komersial. Kekhawatiran juga masih ada terkait hukum indikasi geografis. Meskipun Undang-Undang Paten telah diamandemen melalui UU Cipta Kerja untuk melonggarkan persyaratan kerja paten lokal (membolehkan pemenuhan melalui impor atau lisensi), AS menilai amandemen yang lebih komprehensif masih diperlukan untuk mengatasi isu-isu yang tersisa, termasuk kejelasan mengenai paten untuk penemuan terkait program komputer serta penemuan yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik. AS berkomitmen untuk terus bekerja sama dengan Indonesia melalui Rencana Kerja HKI bilateral dan forum Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) guna mengatasi masalah-masalah ini.
  8. Hambatan Lain
    Hambatan lainnya tidak luput dari kekhawatiran pemangku kepentingan AS terhadap perdagangan di Indonesia, khususnya soal korupsi yang masih dianggap hambatan signifikan. Hambatan lain terhadap perdagangan dan investasi di Indonesia meliputi koordinasi yang buruk dalam Pemerintah Indonesia, lambatnya perolehan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur, buruknya penegakan kontrak, kerangka peraturan dan hukum yang tidak pasti, penilaian pajak yang tidak konsisten, dan kurangnya transparansi dalam pengembangan undang-undang dan peraturan. Para pemangku kepentingan AS yang mencari bantuan hukum dalam sengketa kontrak telah melaporkan bahwa mereka sering dipaksa untuk mengajukan gugatan balik yang tidak sah dan telah menyuarakan kekhawatiran yang berkembang tentang kriminalisasi sengketa kontrak.

Indonesia menerapkan pembatasan ekspor bijih mineral seperti nikel, bauksit, tembaga, dan timah sebagai bagian dari Undang-Undang Pertambangan tahun 2009 yang diperbarui pada tahun 2020. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat terkait dampaknya pada industri baja dan aluminium mereka, serta kontribusinya terhadap masalah kelebihan kapasitas global. Akibatnya, AS bergabung dalam konsultasi yang diajukan oleh Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) mengenai kesesuaian larangan ekspor tersebut dengan kewajiban Indonesia di WTO. AS juga berpartisipasi sebagai pihak ketiga dalam proses panel sengketa ini. Panel WTO kemudian mengeluarkan laporan pada 30 November 2022 yang menyatakan bahwa larangan ekspor bijih nikel Indonesia tidak sesuai dengan aturan WTO. Indonesia mengajukan banding atas keputusan ini pada 12 Desember 2022.

Selain sektor pertambangan, Indonesia juga memiliki kebijakan di sektor minyak dan gas yang dikenal sebagai Kewajiban Pasar Domestik. Kebijakan ini mewajibkan perusahaan minyak dan gas untuk menjual 25% dari total produksinya ke kilang dalam negeri dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga pasar. Lebih lanjut, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2010 yang telah diubah beberapa kali, pemerintah Indonesia memiliki kewenangan besar untuk mengubah ketentuan dalam kontrak bagi hasil dan kontrak bagi hasil kotor. Perubahan ini bisa mencakup kriteria pemulihan biaya dan ketentuan pajak, yang pada akhirnya menciptakan kerumitan operasional, ketidakpastian, risiko, dan biaya tambahan bagi proyek-proyek minyak dan gas. Pemerintah juga memiliki hak untuk menetapkan batasan biaya bagi perusahaan, termasuk gaji serta pengadaan barang dan jasa, yang membatasi fleksibilitas perusahaan dalam operasionalnya.

Kesimpulan

Tarif Trump ini tidak hanya diberlakukan kepada Indonesia, namun juga 56 negara mitra lainnya. Namun, beberapa telah diuraikan diatas mengenai hambatan dan kritik AS terkait praktik berbisnis di Indonesia yang menyebabkan Indonesia mendapatkan tarif resiprokal sebesar 32% lebih besar dibanding 33 negara lainnya. Dokumen NTE USTR di atas memang bukan menjadi dasar penetapan tarif Trump, namun seringkali dijadikan landasan argumen dan justifikasi kebijakan dagang, termasuk pengenaan tarif dan sanksi. Tarif Trump ini tidak bisa diabaikan maupun ditelan mentah-mentah begitu saja oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini bisa menjadi sinyal bahwa terdapat kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang tepat atau praktik-praktik bisnis yang tidak sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Indonesia memiliki hak untuk mengelola sumber daya alamnya demi kepentingan nasional. Namun, dalam praktiknya perlu dipertimbangkan implikasi hukum internasional dan dampaknya terhadap hubungan perdagangan serta iklim investasi. Kebijakan pembatasan ekspor dan intervensi dalam kontrak migas perlu dievaluasi secara mendalam dan strategis. Pemerintah perlu mencari solusi yang cerdas dan proaktif melalui negosiasi, menciptakan iklim investasi yang stabil, dan fokus pada hilirisasi yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip perdagangan internasional dan potensi kerugian ekonomi yang lebih besar. Mengiyakan keinginan Amerika Serikat tanpa pertimbangan matang tentu bukan pilihan yang bijak, namun mengabaikan sepenuhnya juga berpotensi membawa dampak negatif terhadap kewajiban internasional yang tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Keseimbangan antara kepentingan nasional dan kewajiban internasional adalah kunci.

Referensi

  1. ↩︎

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *