Perkara PKPU & Kepailitan di Indonesia

PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan Kepailitan adalah dua hal yang terkait erat dalam hukum perusahaan di Indonesia. PKPU adalah upaya untuk menunda kewajiban pembayaran utang oleh perusahaan Sebab adanya jangka waktu bagi debitor untuk dapat mengajukan rencana perdamaian dengan para Krediturnya. Sedangkan, Kepailitan adalah proses hukum yang dilakukan ketika perusahaan tidak mampu membayar utang-utangnya.

Dalam PKPU, masih terdapat kesempatan bagi Debitur untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran baik sebagian atau seluruh utang kepada Kreditur apabila Debitur tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh tempo.

Bentuk rencana perdamaian yang kerap kali digunakan dalam rangka PKPU adalah restrukturisasi utang. PKPU merupakan upaya bagi Debitur dan Kreditur untuk menyepakati penyelesaian utang-piutang di antara mereka sebelum upaya terakhir berupa kepailitan dijatuhkan oleh pengadilan. Proses ini biasanya melibatkan Pengurus dengan kewenangan melakukan pengurusan harta debitur yang dinyatakan PKPU.

Mekanisme penanganan PKPU dimulai dengan pengajuan permohonan PKPU oleh Perusahaan/Debitur ke Pengadilan
Niaga. Setelah diterima, pengadilan akan memberikan putusan sementara menunda pembayaran utang selama 45 hari. Perusahaan harus menyusun rencana restrukturisasi keuangan yang disetujui oleh krediturnya agar bisa melanjutkan operasinya dan membayar utang sesuai rencana. Jika rencana restrukturisasi ditolak, perusahaan dapat diajukan ke dalam proses Kepailitan.

Definisi Kepailitan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU), yaitu Sita Umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Krediturnya.”

Proses Kepailitan dimulai dengan pengajuan permohonan oleh kreditur atau perusahaan itu sendiri ke Pengadilan Niaga. Setelah permohonan diterima, pengadilan akan menunjuk seorang kurator untuk mengelola aset perusahaan dan mengatur proses penyelesaian utang-utangnya.

Selama proses kepailitan, perusahaan tidak dapat melakukan transaksi keuangan tanpa persetujuan dari kurator.
Jika aset perusahaan tidak cukup untuk membayar seluruh utang-utangnya, maka kreditur akan menerima pembayaran sesuai dengan urutan prioritas yang ditetapkan oleh undang-undang.

Pihak-Pihak yang dapat mengajukan kepailitan Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU:

  • Debitur sendiri;
  • Seorang Kreditur;
  • Jaksa atau penuntut umum;
  • Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan
  • Menteri Keuangan.

Akibat Hukum dari putusan pailit berdasarkan Pasal 24 UU KPKPU adalah bahwa: Debitur demi hukum akan kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, termasuk harta pailit. Selain itu, putusan pailit mengakibatkan Debitur dianggap tidak cakap hukum, sehingga Debitur tidak dapat melakukan perbuatan hukum, menguasai maupun mengurus harta kekayaannya.

Pengajuan perkara PKPU dan kepailitan dapat dilakukan di Pengadilan Niaga, yaitu lembaga peradilan khusus menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum perusahaan, termasuk perkara PKPU dan Kepailitan:

  • Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
  • Pengadilan Niaga Surabaya
  • Pengadilan Niaga Semarang
  • Pengadilan Niaga Medan, dan
  • Pengadilan Niaga Makassar

DASAR HUKUM

  • Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *