Business Judgement Rule Perlindungan Hukum Direksi Dalam Melakukan Keputusan Bisnis

Business judgement rule merupakan sebuah doktrin yang muncul dan mulai berkembang dari sistem hukum Anglo Saxon yang mana doktrin tersebut berpegang terhadap perlindungan terhadap direksi dalam menjalankan perannya.[Doktrin ini sebenarnya menekankan pada pembagian tanggung jawab antara organ korporasi dengan korporasinya sendiri, terkhusus terhadap direksi karena dia merupakan vital organ atau mind dari korporasinya. Dalam pengertian lain, direksi itu sebenarnya bertindak bukan untuk dan atas nama korporasinya, tetapi orang tersebut bertindak sebagai korporasinya sendiri. Black’s Law Dictionary mendefinisikan business judgment rule sebagai suatu tindakan dalam membuat suatu keputusan bisnis tidak melibatkan kepentingan diri sendiri, kejujuran dan mempertimbangkan yang terbaik bagi perusahaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan direksi dalam kaitannya dengan aktivitas korporasi dalam melakukan pengambilan keputusan itu tidak dapat dipersalahkan secara langsung meskipun keputusan atau tundakan tersebut merugikan perseroan.[2]

Pada prinsipnya, memang seorang direksi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus berdasarkan pada asas fiduciary duty yang mana mengharuskan direksi untuk melakukan kepengurusan perusahaan yang dipimpinnya secara baik dan benar. Selain itu, seorang direksi juga dituntut untuk dapat melakukan inovasi dan mengambil kesempatan dengan melakukan keputusan bisnis supaya perusahaan tersebut dapat bersaing dalam komopetisi pasar masa kini. Keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi harus dilakukan dengan penuh perhitungan dan kehati-hatian agar terhindar dari resiko bisnis yakni kerugian. Akan tetapi, pada praktiknya resiko bisnis sulit dihindari. Tidak jarang, keputusan bisnis yang telah sesuai dengan prosedur tetap mengalami kerugian.[3]

Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai penerapan doktrin ini telah diakomodir dalam hukum positif, yaitu dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:

  1. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  3. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian tersebut; dan
  4. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.[4]

Dalam peraturan di atas, seorang direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang dialami oleh perseroan yang dipimpinnya sepanjang dapat membuktikan keempat hal diatas. Walaupun memang terhadap diksi “kerugian” tidak dijelaskan lebih lanjut pada peraturan tersebut. Lebih lanjut, doktrin business judgment rule juga telah diakomodir oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui Peraturan OJK No. 33/PJOK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik, tertulis di Pasal 13 ayat (2) yang berbunyi:

Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Emiten atau Perusahaan Publik jika mampu membuktikan hal-hal berikut:

  1. kerugian terjadi bukan karena karena kesalahan atau kelalaiannya
  2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh tanggungjawab, kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten/Perusahaan Publik;
  3. tidak memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung; dan
  4. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.

Selanjutnya mengenai pertanggungjawaban komisaris, juga diatur dalam undang-undang perseroan terbatas yang menyebutkan jika komisaris bertanggungjawab secara pribadi atau tanggung renteng atas kerugian perusahaan jika komisaris bersalah atau lalaidalam menjalankan tugasnya dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan (Pasal 114 ayat (2), (3), dan (4), Pasal 108 ayat (1) No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).[5]

Namun menurut Pasal 114 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, walaupun dalam teorinya, business judgment rule tidak dikenal pada Dewan Komisaris, karena system common law menganut single board officer yaitu pengurusan dan pengawasan dilakukan oleh chief officer perseroan.[6] Lebih lanjut, komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas kerugian perusahaan dengan syatar-syarat sebagai berikut:

  1. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  2. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
  3. telah memberikan nasihat kepada Di- reksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. [7]

 Di Indonesia, implementasi dari doktrin business judgment rule sebenarnya telah terjadi di beberapa kasus, salah satu yang paling menarik yaitu kasus tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Karen Agustiawan yang saat itu oleh peradilan tingkat pertama maupun banding dinyatakan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000. (satu milyar rupiah). Tetapi kemudian di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membuat sebuah terobosan hukum yang luar bisa dengan membebaskan Mantan Direktur Utama Pertamina tersebut dari jeratan tindak pidana korupsi dengan pertimbangan business judgment rule yang mana dalam salah satu pertimbangan hakim, menyatakan bahwa putusan direksi dalam suatu aktivitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Kendati putusan itu pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi perseroan tetapi itu merupakan risiko bisnis. Bertolak dari karakteristik bisnis yang sulit untuk diprediksi (unpredictable) dan tidak dapat ditentukan secara pasti.[8]

Dari apa yang sudah disampaikan di atas, penerapan business judgment rule bukan hanya sekadar business judgment, melainkan ada rule atau aturan yang harus dipatuhi oleh direksi maupun directing mind dalam sebuah perusahaan khususnya perseroan terbatas dalam mengelola bisnis perseroan tersebut. Untuk dapat menjaga hal itu, sudah selayaknya seorang organ perseroan menjalankan good corporate governance sebagai upaya untuk menjaga kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan dalam perusahaan. Namun memang, dalam aturan yang ada di Indonesia saat iniperlu diperjelas lagi terkait dengan unsur-unsur dari business judgment rule sendiri, bisa dalam hal arti dari kerugian dalam perusahaan hingga penjelasan tentang konsep dari keputusan bisnis yang tidak keluar dalam ruang lingkup business judgment rule.


Referensi

  • Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  • Sartika Nanda Lestari, “Business Judgement Rule sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan Udaha Milik Negara di Indonesia”, Jurnal Notarius, Edisi 08 No. 02, 2015.
  • Rani Lestari (et.al.), “Konsistensi Pengukuhan Kedudukan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Pada Badan Usaha Milik Negara Menurut Pelaku Kekuasaan Kehakiman Dalam Kaitannya Dengan Doktrin Business Judgement Rule”, Jurnal Hukum Kenotariatan dan ke-PPAT-an, Vol.1 No. 2, Tahun 2018.
  • Yafet Yosafet Wilben Rissy, Business Judgement Rule: Ketentuan Dan Pelaksanaannya Oleh Pengadilan Di Inggris, Kanada Dan Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 32 No. 2, 2020.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *