Implikasi Kepemilikan Saham Oleh Pribadi Pada Perseroan Perorangan Menurut Prinsip Separate Legal Entity

Perseroan Terbatas (“Perseroan”) merupakan badan hukum persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”). Konsep pemisahan entitas Perseroan dan personalitas engurus dalam perusahaan dikenal sebagai prinsip Separate Legal Entity atau Separate Entity. Prinsip ini melindungi kedudukan hukum dan membatasi tanggung jawab (limited liability) pengurus Perseroan. Pengurus yang dimaksud antara lain Dewan Direksi, Dewan Komisaris, dan Pemegang Saham.

Prinsip Separate Legal Entity termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT, yang menerangkan bahwa Perseroan sebagai badan hukum merupakan entitas atau wujud hukum yang terpisah dari pemiliknya (merujuk pada: Pendiri dan para pemegang saham). Dengan demikian, pemegang saham suatu Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap urusan kekayaan perusahaan, melainkan hanya sebatas jumlah kepemilikan sahamnya saja. Hal ini kemudian diperkuat oleh pendapat Yahya Harahap yang mengamini hasil penelitian Daniel Davidson dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas, dikemukakan bahwa Perseroan sebagai “wujud yang terpisah” (separate entity) dari pemegang saham sebagai pemilik, asetnya tidak boleh dituntut dan dialihkan oleh pemegang saham kepada dirinya maupun orang lain.

Sementara itu, percampuran harta pengurus dan Perseroan tetap dapat terjadi dalam hal: (a) Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; (b) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; (c) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau (d) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT. Peristiwa yang demikian ini disebut dengan Piercing the Corporate Veil atau “menyibak tirai/pembatas perusahaan.” Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia memaknai prinsip Piercing the Corporate Veil sebagai pembebanan tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum) tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Perlu kembali dipahami bahwa persyaratan Perseroan sebagai badan hukum yang dirujuk dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a UU PT adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PT, salah satunya perihal pendirian Perseroan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan masing-masing pendiri wajib mengambil bagian saham. Ketentuan ini menimbulkan adanya asosiasi modal, yang kemudian diatur lebih lanjut oleh Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) UU PT mengenai konsekuensi penyimpangannya. Bahwa apabila setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Jika prosedur ini tidak dipenuhi, maka pemegang saham (yang kurang dari 2 (dua) orang) bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, bahkan pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan jika diajukan permohonan oleh pihak yang berkepentingan. Maka dari itu, berdasarkan alas hukum UU PT, kepemilikan saham oleh pribadi akan mengakibatkan persoon tersebut bertanggung jawab secara pribadi pula terhadap seluruh urusan Perseroan.

Perseroan Perorangan mulai dikenal sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha Mikro dan Kecil (“PP 8/2021”). Pasal 2 ayat (1) huruf b PP 8/2021 mengatur bahwa Perseroan Perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang termasuk dalam kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil (“UMK”). Segala hal terkait pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran Perseroan Perorangan tetap mengikuti ketentuan dalam UU PT.

Kemudian Perseroan Perorangan diatur lebih lanjut melalui Pasal 153A, 153B, 153C, 153D, 153E, 153F, 153G, 153H, 153I, dan 153J Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”). Jika dikaitkan dengan paradigma asosiasi modal dalam Pasal 7 UU PT, Perseroan yang kepemilikan modalnya oleh pribadi atau kurang dari 2 (dua) orang semestinya secara otomatis bertanggung jawab atas segala urusan kekayaan Perseroan. Permasalahan pertanggungjawaban ini kemudian diatur dalam Pasal 153J UU Cipta Kerja, bahwa pemegang saham Perseroan UMK tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki, kecuali antara lain: (a) Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; (b) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; (c) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau (d) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Meskipun, ketentuan ini tampak persis sama dengan apa yang telah diatur lebih dulu dalam UU PT, implikasinya berbeda mengingat persyaratan Perseroan yang dijadikan dasar perbuata pendirian Perseroan berbeda pula. Kembali merujuk pada Pasal 2 ayat (1) PP 8/2021 yang memberikan kesempatan bagi pendiri UMK untuk mendirikan Perseroan yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, maupun yang didirikan hanya oleh 1 (satu) orang atau Perseroan perorangan.

Berdasarkan pemaparan di atas, implementasi prinsip Separate Legal Entity mengalami perubahan dalam hal kepemilikan saham oleh pribadi pada Perseroan Terbatas dengan UMK Perseroan Perorangan sebagaimana diatur dalam PP 8/2021 dan UU Cipta Kerja. Berbeda dengan Perseroan Terbatas, pemegang saham yang kurang dari 2 (dua) orang di Perseroan Perorangan tidak menimbulkan akibat percampuran kekayaan Perseroan dengan pribadi. Adanya ketentuan ini dapat dimaknai sebagai perlindungan hukum dan dukungan bagi UMK agar dapat membentuk badan hukumnya sendiri dengan kepastian hukum. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan penyalahgunaan kewenangan pemegang saham oleh pribadi di Perseroan Perorangan sehingga terjadi hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 153J ayat (2) huruf b, c, atau d, kemudian berlaku prinsip Piercing the Corporate Veil terhadap pemegang saham UMK Perseroan Perorangan tersebut.

Referensi

  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”);
  • Fuady, Munir. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. (Bandung: Citra Aditya, 2014);
  • Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha Mikro dan Kecil (“PP 8/2021”);
  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”);
  • Harahap, Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. (Jakarta: Sinar Grafika, 2016).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *