Perkembangan ekonomi yang semakin meluas tanpa batas membuka peluang bagi pelaku bisnis untuk melaksanakan hubungan dagang antar negara. Kondisi demikian tidak menutup kemungkinan terjadinya potensi sengketa dagang internasional dalam berbagai kegiatan perdagangan. Dalam kontrak dagang internasional, para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan hukum dan pilihan forum berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Pilihan penyelesaian sengketa dagang internasional umumnya didasari oleh klausula penyelesaian sengketa yang termuat dalam kontrak tertulis yang telah dibuat oleh para pihaknya.
Terdapat dua pilihan penyelesaian sengketa dagang internasional, yaitu melalui penyelesaian sengketa litigasi dan non-litigasi yang biasa disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam penyelesaian sengketa, alternatif penyelesaian sengketa dikenal sebagai tindakan awal atau first resort, sementara itu jalur pengadilan dianggap sebagai upaya akhir atau last resort. Adapun beberapa cara yang dapat dipilih untuk menyelesaikan sengketa melalui upaya non-litigasi diantaranya yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang paling banyak digunakan oleh para pelaku bisnis dalam sengketa dagang internasional adalah arbitrase. Jalur arbitrase banyak dipilih karena dianggap dapat memberikan efektivitas dan keuntungan bagi para pihak yang bersengketa.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang dapat diserahkan melalui jalur arbitrase hanya terbatas pada sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Arbitrase merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga bersifat netral yang dikenal dengan sebutan arbiter. Pihak ketiga tersebut dapat berbentuk individu, arbitrase terlembaga (institusional), atau arbitrase sementara (ad hoc). Penyelesaian sengketa melalui forum ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak.
Arbitrase internasional merupakan putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Beberapa contoh lembaga-lembaga arbitrase internasional diantaranya seperti The London Court of International (LCIA), The Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC), dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC). Arbitrase internasional menawarkan sejumlah manfaat yang menguntungkan bagi para pihak yang bersengkata. Yang pertama, para pihak mendapatkan keputusan yang adil dan cepat tanpa adanya hambatan berupa perbedaan bahasa dan budaya hukum diantara para pihaknya. Kedua, para pihak juga diberi kebebasan untuk menentukan arbiter yang dianggap netral dan ahli mengenai pokok sengketa yang terjadi. Selanjutnya, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat yang artinya bahwa putusan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum baik banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Selain itu, persidangan dan putusan arbitrase internasional dimungkinkan untuk dirahasiakan apabila para pihak menghendakinya.
Penyelesaian sengketa melalui forum ini dinilai dapat mengatasi kekurangan yang selama ini dimiliki oleh proses litigasi. Namun demikian, terdapat batasan-batasan yang harus menjadi perhatian bagi para pihak ketika memilih arbitrase internasional sebagai forum penyelesaian sengketa. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia didasarkan kepada Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau Konvensi New York tahun 1958 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981. Selanjutnya, ketentuan mengenai arbitrase internasional di Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Agar suatu putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia, maka putusan tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu:
- Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter di suatu negara yang terikat perjanjian dengan Indonesia, bak secara bilateral maupun multilateral terkait pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional;
- Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
- Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
- Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
- Putusan arbitrase asing sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 kembali menegaskan bahwa setelah putusan arbitrase internasional didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka terhadap putusan arbitrase internasional tersebut dapat diajukan permohonan untuk memperoleh pengakuan di Indonesia.
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.
- Asrianto, Adhayanto. “Penyelesaian Sengketa Dagang dalam Hukum Internasional (Suatu Tinjauan Terhadap Forum Penyelesaian Sengketa Internasional Non Litigasi)”, Jurnal Selat, Vol. 1, No. 2, Mei 2014.