Kerugian Immateriil di Dalam Hukum

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud Kerugian adalah kondisi di mana seseorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa yang telah mereka keluarkan (modal). Kerugian dalam hukum dapat dipisahkan menjadi dua (2) klasifikasi, yakni Kerugian Materil dan Kerugian Imateriil. Tujuan pemberian ganti rugi adalah untuk mengembalikan pihak yang dirugikan ke posisi sebelum kerugian terjadi atau memberikan penggantian secara materiil atau immateriil atas kerugian yang diderita.

Kerugian dalam KUHPerdata dapat bersumber dari Wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 Juncto Pasal 1243 yang menyatakan, “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”. Dan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Salah satu unsur di dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata ialah kerugian bagi orang lain. Tuntutan kerugian khususnya immaterial menjadi diskursus para hakim pada saat akan menjatuhkan putusan, namun terkadang terdapat keragu-raguan dalam merumuskannya sehingga berdampak hilangnya hak yang seharusnya diperoleh oleh orang lain. Penilaian kerugian tersebut tergantung pada pembuktian para pihak serta penilaian hakim yang memeriksa perkara tersebut. Untuk itu diperlukan kesepahaman pemikiran tentang kerugian immaterial karena di dalam Judicial Activism ternyata ruang lingkupnya semakin luas.

Kerugian Materiil adalah kerugian yang nyata-nyata dapat terlihat secara langsung diderita. Contohnya seperti kerugian kerusakan kendaraan dan kerugian biaya pengobatan. Sedangkan, Kerugian Imateriil adalah kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima di kemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh Pemohon di kemudian hari. Ganti rugi immateriil merupakan penggantian atas kerugian yang sulit atau tidak mungkin diukur secara finansial, seperti penggantian atas rasa sakit, penderitaan emosional, kerugian reputasi, atau penghinaan.  

Saat salah satu pihak telah melakukan Wanpretasi maka dimungkinkan timbulnya kerugian dalam peristiwa tersebut, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1246 KUHPerdata, maka ganti-kerugian tersebut terdiri dari 3 unsur yaitu;

  • Biaya, yaitu biaya-biaya pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata/tegas  telah dikeluarkan oleh Pihak.
  • Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan/kehilangan barang dan/atau harta  kepunyaan salah satu pihak yang diakibatkan oleh kelalaian pihak lainnya.
  • Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh/diharapkan oleh salah satu pihak apabila pihak yang lain tidak lalai dalam melaksanakannya.

Dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dalam hal seseorang melakukan suatu Perbuatan Melawan Hukum maka dia berkewajiban membayar ganti rugi akan perbuatannya tersebut. Hal yang berbeda dengan Tuntutan kerugian dalam Wanprestasi, dalam tuntutan Perbuatan Melawan Hukum tidak ada pengaturan yang jelas mengenai ganti kerugian tersebut namun sebagaimana diatur dalam Pasal 1371 ayat (2) KUHPerdata tersirat pedoman yang isinya “Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan”.

Undang-undang di Indonesia hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil. Pengaturan mengenai gugatan ganti kerugian immateriil tidak ditemukan baik dalam KUHPerdata maupun dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang merupakan hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku pada zaman Hindia Belanda hingga sekarang. Ketiadaan pengaturan ini menyebabkan perbedaan penafsiran yang berbeda-beda pada putusan hakim. Walaupun terdapat beberapa putusan hakim yang mengabulkan dan menolak gugatan immateriil. Hal ini tidak dapat mengikat pada hakim yang lainnya mengingat Indonesia merupakan negara yang menganut sistem civil law.

Pemenuhan tuntutan kerugian Immateril diserahkan kepada Hakim dengan prinsip ex aquo et bono. Hal ini yang kemudian membuat kesulitan dalam menentukan besaran kerugian Immateril yang akan dikabulkan karena tolak ukurnya diserahkan kepada subjektifitas Hakim yang memutus. Namun, guna memberikan suatu pedoman dalam pemenuhan gugatan Immateril maka Mahkamah Agung dalam Putusan perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994 menerbikan pedoman yang isinya “Berdasarkan Pasal 1370, 1371, 1372 KUHPerdata ganti kerugian immateril hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara Kematian, luka berat dan penghinaan”. Pemenuhan tuntutan ganti kerugian Immateril akan mengalami kendala yang tidak mudah dalam pemenuhannya. Hal ini karena pemohon harus membuktikan dalilnya tersebut yang sudah barang tentu tidak semudah membuktikan kerugian Materil. Hal ini sangat bergantung kepada subjektifitas Hakim dalam memutus perkara berdasarkan prinsip ex aquo et bono.

Seseorang yang merasa dirugikan baik kerugian yang timbul karena wanprestasi maupun mengalami kerugian akibat perbuatan melawan hukum lainnya, dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri. Dalam proses persidangan, pihak yang dirugikan atas PMH berkewajiban menunjukkan keadaan matinya anggota keluarga, cacatnya anggota tubuh atau penghinaan yang dilakukan, dan bentuk kekecewaan yang timbul dengan mendalilkan dampak yang terjadi walaupun sepenuhnya tidak dapat dibuktikan. Selain itu, perlu pembuktian mengenai kekayaan yang dimiliki oleh pihak yang melakukan PMH. Pembuktiannya dapat diketahui melalui kepemilikan atas barang-barang tidak bergerak maupun barang-barang bergerak, kepemilikan usaha dan lain sebagainya. Sehingga, korban dapat menuntut kerugian immaterial sesuai dengan kekayaan milik pihak yang melakukan PMH. Hal tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan tuntutan ganti kerugian yang tidak masuk akal.

Penggugat dalam menuntut ganti rugi immateriil tetap wajib menguraikan dalam bentuk apa kerugian tersebut, mengapa muncul kerugian tersebut, perincian jumlah kerugian dan yang paling penting adalah kerugian immateriil tersebut harus dapat dibuktikan. Beberapa yurisprudensi telah memberikan contoh tentang bagaimana hakim dalam mempertimbangkan tuntutan ganti rugi immateriil, yaitu:

  1. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 1984 Nomor 588 K/Sip/1983, yang diantaranya: “Bahwa tentang tuntutan Penggugat asal sub 5 yaitu mengenai tuntutan ganti rugi karena tidak disertai bukti-bukti maka harus ditolak”;
  2. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 31 September 1983 Nomor 19 K/Sip/1983, yang diantaranya: “Menimbang, bahwa oleh karena gugatan ganti rugi tersebut tidak diperinci dan lagi pula belum diperiksa oleh judex factie, maka gugatan ganti rugi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima”;
  3. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 8 Mei 1980 Nomor 550 K/Sip/1979, yang diantaranya: “Bahwa petitum ke 4 s/d 6 dari Penggugat asal tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena kerugian-kerugian yang diminta tidak diadakan perincian”;
  4. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 1984 Nomor 588 K/Sip/1983, yang diantaranya: “Setiap tuntutan ganti rugi harus disertai perincian kerugian dalam bentuk apa yang menjadi dasar tuntutannya. Tanpa perincian dimaksud maka tuntutan ganti rugi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima karena tuntutan tersebut tidak jelas/tidak sempurna”.

Penilaian kerugian yang dialami penggugat dengan mendasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata, hal tersebut merupakan kewenangan hakim yang memeriksa perkara tersebut sesuai dengan penilaian hakim setelah melalui proses pemeriksaan persidangan ataupun dapat pula dengan mempertimbangkan putusan terdahulu atau yurisprudensi. Hukuman ganti kerugian harus ada pertimbangan yang jelas sehingga putusan tidak terkesan tidak berdasar. Pertimbangan itu sendiri tidak boleh lebih banyak merujuk pada pihak penderita saja, melainkan juga dari status pelaku secara proporsional. Bahwa penilaian ganti kerugian yang dapat dituntut dan dikabulkan dalam perkara perdata adalah merupakan kewenangan hakim yang memeriksa perkara tersebut, setelah mempertimbangkan dalil-dalil gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan.

Referensi

  • KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
  • Riki Perdana Raya Wawuru, “Perluasan Ruang Lingkup Kerugian Immateriil”, https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/peraturan/6-artikel/artikel-hakim-agung/1458-perluasan-ruang-lingkup-kerugi an-immateriil
  • Jurnal Ilmiah Hukum De’Jure: Kajian Ilmiah Hukum, Ganti Kerugian Immateriil Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dalam Praktik: Perbandingan Indonesia dan Belanda, Rai Mantili
  • Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti, “Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup”, Jurnal Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER)
  • ICJR, “Penentuan Ganti kerugian Immateriil; Hakim Harus Bijak”, http://icjr.or.id/penentuan-ganti- rugi-immateriil-hakim-harus-bijak/,

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *